Selasa, 17 November 2009

MENDAYUNG DAN MEMUJI TUHAN

Di suatu kampung di pesisir pantai

Lautan indah dan teduh menawan

Kicauan unggas putih bernyanyi

mengiringi sang mentari bangun

Di depan Gereja di sebuah bukit

Terlihat umat Tuhan mendayung perahu

Bergegas pergi untuk sembayang

memuji Tuhan sang pencipta

Mendayung…….dayung

Mendayung perahu di pinggir pantai

Sambil menyanyi kidung merdu

Menyanyi kidung seruling emas

Kamis, 12 November 2009

MENGABDI KEPADA SESAMA MANUSIA

Kita harus jujur pada diri kita, kita harus mengaku bahwa kita hanya memiliki kehidupan, maka bagaimana cara kita menggunakan kehidupan kita untuk membuktikan...Siapa diri kita yang sebenarnya...hanya dengan menyerahkan kehidupan sendiri, kita akan menemukan kehidupan, aku yakin dengan kebenaran dan mengorbankan diri kita untuk orang lain....dan berjuang untuk keadilan tanpa kekerasan, menjadi manusia adalah menderita untuk orang lain. Tuhan membentuk kita menjadi manusia.
by Engel.

Selasa, 10 November 2009

EFEVEKTIVITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT

PENGANTAR
Dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai makhluk sosial, manusia dalam kenyataannya saling terlibat dalam berbagi kegiatan dalam bidang nutrisi, proteksi, dan reproduksi. Untuk dapat bertahan hidup, manusia perlu makan. Seperti halnya pada makhluk hidup yang lain, makanan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar tak mungkin di tinggalkan. Setelah memperoleh makanan sebagai syarat untuk mempertahankan hidupnya, supaya makhluk hidup tidak mengalami kepunahan karena adanya berbagai ancaman (baik berbagai ancaman dari luar maupun dari sesamanya), maka di perlukan perlindungan yang cukup mamadai, demi kelangsungan hidupnya sebagai
spesies tertentu, yang tidak hanya terbatas pada satu generasi saja, manusia melakukan regenerasi dengan reproduksi. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, sehingga kebutuhan dasarnya tidak terbatas pada tiga hal seperti tersebut di atas. Menurut A.H. Maslow (Punardi Purbacaraka dan soerjono Soekanto, 1982); Kebutuhan dasar manusia itu mencakup: 1. Food, shelter, clothing; 2. Safety of self and property;3. Self- esteem;4. Self-actualization; 5. Love.
Supaya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik sebagai individu maupun kelompok, tidak terjerumus dalam pertikayan yang justeru dapat menghancurkan eksistensinya, manusia memerlukan berbagai pedoman atau patokan. Pedoman atau patokan tersebut di namakan norma atau kaidah. Salah satu bentuk dari kaidah tersebut adalalah kaidah hukum.
Kaidah di perlukan oleh manusia sebagai sebagai salah satu bentuk usaha untuk menjaga atau menciptakan keadaan yang tertib dan tentram dalam kehidupan bersama. Kehidupan tertib dalam masyarakat akan tercipta apabila kegiatan-kegiatan dari para warga masyarakat, di serasikan dalam suatu bentuk pola kegiatan bersama yang stabil. Terciptanya keadaan yang demikian itu paling tidak di pengaruhi oleh tiga variabel:
  1. Adanya seperangkat kaidah yang terorganisasi kedalam suatu sistem dan fungsinya memberikan pedoman atau patokan mengenai bagaimana orang di dalam masyarakat seharusnya atau seyogyanya bersifat tindak.
  2. Adanya proses yang dinamakan sosialisasi, yaitu proses pengajaran atau pendidikan, baik secara formal maupun informal, yang bekerja"memasukan" kaidah-kaidah tersebut kedalam kepribadian para warga masyarakat sehingga menjadi, bagian dari kepribadian mereka.
  3. Adanya Proses yang dinamakan proses control sosial, yaitu proses-proses represif yang dilakukan oleh masyarakat dan atau pihak-pihak tertentu yang di serahi wewenang untuk itu, dan sarana-sarana yang cukup untuk mamadai untuk "mengiring" para warga masyarakat supaya bersikap tidak sesuai dengan kaidah yang ada.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUKUM DALAM MASYARAKAT
Kata Efektivitas berasal dari bahasa Inggris, yakni
effective. Arti kata tersebut adalah: "having the intended or expected effec; serving the purpose". Dengan demikian, efektivitas hukum dapat di artikan dengan kemampuan untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi seperti yang di kehendaki atau di harapkan oleh hukum. Dapat di artikan dengan kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi seperti yang di kehendaki atau di harapkan oleh hukum.
Dalam kenyataannya, hukum itu tidak hanya berfungsi sebagai sosial kontrol, tetapi dapat juga menjalankan fungsi perekayasaan sosial
(social enginering atau instrument of change). Demikian, efektivitas hukum itu dapat di lihat baik dari sudut fungsi sosial kontrol, maupun sudut pandang sebagai alat untuk melakukan perubahan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas hukum dalam masyarakat (Soerjono Soekanto). itu dapat di perinci sebagai berikut :
  1. Faktor hukumnya sendiri;
  2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk atau menetapkan hukum;
  3. Faktor sarana atau fasilitas yang kurang mendukung penegakan hukum;
  4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau di tetapkan;
  5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.dsn..........
BAHAN PUSTAKA
  • Friedman, Lawrence M., "Legal Culture and Social Developmen". Law and Society Review, (No. 1 Aug. 1969);
  • Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kiedah Hukum. Bandung: Penerbit Alumni, 1982;
  • Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi. Bandung PenerbitAlumni, 1979;
  • Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengarui penegakan hukum. Jakarta: Pidato Pengukuhan (14 Desember 1983).

Sabtu, 07 November 2009

KEMUNGKINAN PERUBAHAN UUD 1945 UNTUK KE LIMA KALI•

Pendahuluan

Untuk mengetahui dan memahami perlu dan tidaknya dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 kelima kali, perlu dipahami lebih dahulu apa undang-undang dasar itu, apakah undang-undang dasar sama dengan konstitusi, dan mengapa negara memerlukan undang-undang dasar, dan setelah itu perlu juga dijawab, mengapa undang-undang dasar diubah. Seperti diketahui, dalam kepustakaan Inggeris dikenal adanya istilah constitution. Dalam pada itu, kepustakaan Belanda mengenal dua istilah, yaitu grondwet dan constitutie. Beberapa pakar hukurn tata negara Belanda, seperti antara lain Crince Le Roy mengernukakan bahwa grondwet sarna dengan constitutie (De Grote Winkler Prins, 1947,1954, hlm 671 dan hlm 712).

Dengan demikian, apabila kita mengenal adanya written constitution dan unwritten constitution (geschreven constitutie dan ongeschreven constitutie), dikenal pula adanya geschreven grondwet dan ongeschreven grondwet (H. R. Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, hlm 1, Catatan kaki). Apabila hal itu kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, akan kita temukan perkataan atau istilah “Konstitusi tertulis dan undang-undang dasar tidak tertulis”. Istilah undang-undang dasar merupakan terjemahan istilah Belanda “grondwet” (“wet” = undang-undang, sedangkan “grond” dasar (tanah)). Dengan demikian, sebagai bangsa yang selama lebih kurang 350 tahun dijajah Belanda, banyak pengaruh Belanda yang diterima oleh indonesia. Pengaruh sangat besar dari Belanda terjadi pada bidang hukum. Bahkan sampai sekarang masih berlaku peraturan perundang-undangan Belanda.

Negara dan Undang-Undang Dasar

Adalah satu kenyataan bahwa tidak ada satu negara, betapapun kecilnya negara itu, yang tidak mernpunyai undang-undang dasar (konstitusi). Bahkan negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Untuk mengetahui dan memahami hubungan antara keduanya, perlu dijawab lebih dahulu, apa negara?

Negara, yang menurut Konvensi Montevideo mempunyai berbagai unsur yang bersifat konstitutif, adalah sebuah organisasi kekuasaan (machtsorganisatie). Dikatakan sebagai organisasi kekuasaan, karena dalam setiap negara selalu diketemukan adanya pusat-pusat kekuasaan, baik yang berada dalarn supra struktur politik, maupun yang berada dalam infra struktur politik. Pusat-pusat kekuasaan yang berada dalam supra struktur politik adalah berbagai organ negara, yang sesuai dengan teori Trias Politika, berupa organ legislatif, organ eksekutif, dan organ yudisial. Di indonesia hal itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), organ tersebut diberi nama lembaga-negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Selain lembaga-lembaga negara di atas, masih terdapat lembaga-negara lain yang tidak diatur dalam UUD 1945. Keberadaan lembaga-negara tersebut diatur dalam undang-undang, seperti antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi dan yang diatur dalam Keputusan Presiden, seperti Komisi Reformasi Hukum Nasional.

Adapun pusat-pusat kekuasaan yang berada dalam infra struktur politik ialah partai politik, golongan atau kelompok kepentingan (seperti pekerja, petani, nelayan), golongan atau kelompok penekan / pressure groups seperti mahasiswa, alat komunikasi politik, seperti antara lain media cetak dan media elektronika, dan tokoh politik (political figure).

Pusat-pusat kekuasaan seperti dikemukakan di atas mempunyai atau memiliki kekuasaan. Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan (pihak lain). Kekuasaan juga diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendaknya (kepada pihak lain).

Dalam pada itu, kekuasaan sendiri mempunyai kecenderungan bersalahguna. Lord Acton mengatakan ‘power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”.

Kita dapat membayangkan, apabila yang menyalahgunakan kekuasaan itu negara. Negara sebagai organisasi kekuasaan dapat menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal ini terjadi melalui mereka yang memegang berbagai macam jabatan yang ada dalam negara bersangkutan. Yang menjadi persoalan ialah, bagaimana upaya serta cara yang dapat dilakukan untuk mencegah negara tersebut menyalahgunakan kekuasaan ? Upaya yang dilakukan ialah, dengan membentuk undang-undang dasar (konstitusi) sebelum negara dibentuk atau beberapa saat setelah negara itu berdiri.

Timbul kemudian pertanyaan, mengapa Konstitusi (undang-undang dasar) dapat mengendalikan atau membatasi kekuasaan dalam negara ? Hal ini dapat diketahui dan materi — muatan yang selalu tercantum dalam setiap konstitusi.

Menurut pendapat pakar hukum tata negara yang bernama Steenbeek (dalam bukunya “ De beproefde grondwet “, (1967)), setiap undang-undang dasar sekurang-kurangnya mengatur tiga kelompok materi-muatan, yaitu:

1. adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar; dan

3. adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.

Selain tiga kelompok materi-muatan tersebut, undang-undang dasar juga mengatur materi-muatan lain, seperti antara lain perubahan undang-undang dasar. Itulah sebabnya kemudian konstitusi dirumuskan sebagai “ a collection of principles to

which the powers of the government the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted (C.F. Strong).

Tentang Dapat Diubahnya Konstitusi

Seperti telah dikemukakan, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar, betapa pun kecilnya negara itu.

Timbul pertanyaan, siapa atau badan apa yang diberi wewenang membuat dan menetapkan undang-undang dasar ? Ada berbagai nama yang diberikan. Ada yahg diberi nama Konstituante, ada yang bernama Constitutional Coniention, ada yang bernama National People’s Congress, dan di Indonesia badan itu bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat. Badan-badan tersebut berisi sejumlah orang yang ditetapkan melalui cara-cara tertentu.

Konstitusi atau undang-undang dasar bagi suatu negara merupakan peraturan dasar yang diharapkan berlaku untuk waktu yang tidak terbatas. Selama negara itu berdiri, undang-undang dasar atau konstitusi selalu ada.

Akan tetapi, karena konstitusi mempunyai daya laku yang cukup lama, ada kemungkinan, beberapa ketentuan yang terdapat di dalamnya tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat — negara. Hal mi dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti antara lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sistem politik yang terjadi dalam negara itu, Mengapa hal itu dapat terjadi ?

Berbagai materi-muatan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar tidak terlepas dan situasi dan kondisi yang terdapat dalam masyarakat pada waktu konstitusi itu ditctapkan. Karena masyarakat suatu negara berkembang dan berubah, tidak mustahil ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakatnya. Itulah sebabnya, mereka yang menetapkan undang-undang dasar sepakat dicantumkannya pasal yang memungkinkan konstitusi itu diubah.

Menurut K.C. Wheare (Modern Constitutions), konstitusi dapat diubah melalui cara-cara berikut:

1. some primary forces;

2. formal amendment;

3. judicial interpretations; dan

4. usages and conventions.

Perubahan konstitusi melalui “formal amendment” terjadi, apabila dalam undang-undang dasar ditetapkan pasal tentang prosedur konstitusi diubah. Dalam kaitan ini Lord James Bryce dalam bukunya “Studies in History and Yurisprudences” mengemukakan adanya dua macam konstitusi, yaitu:

1. rigid constitutions (konstitusi tegar); dan

2. flexible constitutions (konstitusi lentur).

Yang dimaksud dengan rigid constitutions adalah sebuah Konstitusi yang dapat diubah melalui prosedur yang sukar. Yang dimaksud dengan prosedur sukar ialah, apabila quorum untuk sahnya sidang-sidang dengan acara perubahan konstitusi dihadiri oleh sekurang-kuangnya 2/3 (4/5) dan seluruh anggota badan yang diberi wewenang untuk mengubah undang-undang dasar. Dalam pada itu yang dimaksud dengan flexible constitutions adalah sebuah konstitusi yang dapat diubah melalui prosedur yang mudah. Yang dimaksud dengan prosedur mudah ialah, apabila quorum untuk sahnya sidang dengan acara perubahan undang-undang dasar dihadiri oleh sekurang-kurangnya lebih dan separoh anggota badan yang diberi wewenang untuk mengubah konstitusi.

Selain hal-hal di atas, pada rigid constitution, keputusan tentang perubahan undang-undang dasar dinyatakan sah, apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (4/5) anggota badan yang diberi wewenang mengubah undang-undang dasar.

Dalam pada itu, pada flexible constitution keputusan tentang perubahan undang-undang dasar sah, apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya Iebih dari separoh anggota badan yang hadir.

Prosedur Yang Dianut Dalam Mengubah UUD 1945

Prosedur untuk mengubah UUD 1945 diatur dalam Bab XVI, Pasal 37. Ketentuan tentang perubahan undang-undang dasar yang tercantum dalam pasal tersebut berbeda dengan yang terdapat dalam UUD 1945 sebelum diubah.

Sebelum UUD 1945 diubah, Pasal 37 yang juga mengatur perubahan undang-undang dasar hanya berisi tiga norma hukum, yaitu :

1. bahwa yang berwenang untuk mengubah undang-undang dasar adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

2. bahwa untuk itu, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya

2/3 anggotanya;

3. bahwa keputusan tentang perubahan undang-undang dasar sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR yang hadir.

Walaupun menggunakan angka 2/3. baik untuk quorum maupun untuk sahnya keputusan tentang perubahan. prosedur yang dianut masih belum sukar, apabila dibandingkan dengan isi Pasal 37 yang baru. OIeh karena itu, meskipun masih termasuk dalam rigid constitution. tingkat rigidnya masih di bawah Pasal 37 UUD 1945 pasca perubahan.

Dalam pada itu, untuk mengubah UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah memberikan rambu-rambu sebagai berikut:

  1. bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah;
  2. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dipertahankan;
  3. bahwa sistem pemerintahan presidensiil tetap dipertahankan; dan bahkan perlu disempurnakan;
  4. bahwa hal-hal normatif dalam Penjelasan UUD 1945 sepakat untuk dipindahkan dalam Batang Tubuh UUD 1945: dan
  5. bahwa perubahan undang-undang dasar dilakukan melalui sistem adendum (addendum).

Adapun norma hukum yang tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945 (baru) adalah sebagai berikut:

1. bahwa wewenang untuk mengubah UUD 1945 ada pada MPR;

2. bahwa perubahan undang-undang dasar harus diagendakan dalam sidang MPR;

3. bahwa sidang MPR diagendakan, apabila usul perubahan tersebut diajukan oleh sekurang-kurangnva 1/3 dari jumlah anggota MPR;

4. bahwa usul perubahan undang-undang dasar harus diajukan secara tertulis dan ditunjukkan bagian yang diusulkan untuk diubah;

5. bahwa sidang MPR untuk mengubah UUD 1945 harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR;

6. bahwa putusan tentang perubahan UUD 1945 sah, apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 % ditambah satu dari seluruh angota MPR;

Perlu Tidaknya Perubahan Kelima Terhadap UUD 1945

Untuk menjawab persoalan yang tertera dalam judul di atas, perlu diketahui lebih dahulu, apa saja materi-muatan UUD 1945. Materi-muatan apa (saja) yang perlu (harus) diubah dan mengapa hal itu harus (perlu) diubah.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, konstitusi diadakan untuk antara lain membatasi kekuasaan dalam negara. Dan untuk itu dalam setiap konstitusi sekurang-kurangnva terdapat (diatur) tiga kelompok materi-muatan, yaitu:

  1. pengaturan hak-hak asasi manusia;
  2. susunan ketatanegaraan negara yang mendasar; dan
  3. pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar

Dalam pada itu UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis merunakan sebuah dokurnen formal yang berisi (Struycken, 1928, hlm 179):

1. hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;

2. tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa:

3. pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang:

4. suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

Selain hal-hal di atas, seperti telah dikemukakan, substansi undang-undang dasar ditetapkan pada waktu tertentu, yaitu pada saat negara hendak didirikan. Walaupun yang tercantum di dalamnva diharapkan berlaku untuk jangka panjang ke depan, dalam perjalanan waktu, tidak mustahil, yang diatur dalam undang-undang dasar tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan negara. Di samping itu dapat pula telah terjadi perubahan sistem politik suatu negara. Itulah sebabnva, undang-undang dasar tersebut perlu diubah. Konstitusi tertulis di manapun adalah produk sekelompok orang yang menjadi anggota sebuah badan yang berwenang membuat dan menetapkan undang-undang dasar. Oleh karena itu, walaupun manusia dapat berpikir jauh ke depan, yang diatur dalam undang-undang dasar tidak mungkin seenuhnya sempurna. Bahkan, suatu ketika tidak sesuai lagi dengan jamannya.

Oleh karena itu, ketika pada tahun 1997 tuntutan reformasi dalam seluruh bidang bergulir, timbul pula kehendak untuk melakukan reformasi terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tuntutan tersebut dilaksanakan pada tahun 1999, ketika Majelis Permusvawaratan Rakyat Repub1ik Indonesia menyelenggarakan Sidang Umum. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan empat kali berturut-turut.

Perubahan Pertama dilakukan oleh MPR pada tanggal 19 Oktober 1999;

Perubahan Kedua dilakukan oleh MPR pada tanggal 18 Agustus 2000;

Perubahan Ketiga dilakukan oleh MPR pada tanggal 9 November 2001; dan

Perubahan Keempat dilakukan oleh MPR pada tanggal 10 Agustus 2002.

Karena perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan melalui sistem adendum,

yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah:

1. Pembukaan;

2. Batang Tubuh, yang terdiri atas 16 bab, 4 pasal Aturan Peralihan;

3. Aturan Tambahan, yang terdiri atas dua ayat; dan

4. Perubahan Pertama;

5. Perubahan Kedua;

6. Perubahan Ketiga; dan

7. Perubahan Keempat.

Apabila nanti dilakukan perubahan lagi, jumlah isi UUD 1945 bertambah satu lagi, dan merupakan Perubahan Kelima.

Dengan demikian, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, bukanlah UUD 1945 yang resmi. Apalagi penyatunaskahan tersebut dilakukan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan bukan oleh MPR.

Yang menjadi persoalan adalah, apakah masih diperlukan perubahan kelima?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita kaji bagaimana proses perubahan yang dilakukan oleh MPR, dan bagaimana materi-muatan yang ditetapkan sebagai hasil perubahan MPR.

Menurut pendapat penulis, perubahan terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia memang meninggalkan scjumlah masalah. Hal ini disebabkan, berbagai keputusan yang dilakukan oleh MPR seringkali terjadi melalui komprorni. Kompromi dalam bidang tertentu mungkin dapat mencegah terjadinya instabilitas politik dalam negara. Akan tetapi kalau kompromi politik dilakukan terhadap undang-undang dasar, masalahnya menjadi lain. Mengapa?

Undang-undang dasar bagi sebuah negara adalah peraturan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dimaksudkan berlaku untuk waktu yang lama, bukan puluhan tahun atau ratusan tahun, akan tetapi selama negara itu berdiri. Dan yang lebih penting ialah bahwa undang-undang dasar mengatur berbagai sistem yang bersifat mendasar, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pendidikan dan lain-lain.

Dilihat dari ilmu hukum tata negara (staatsrechtswetenschap), undang-undang dasar juga mengatur sistem perwakilan. sistem pemerintahan dan sistem peradilan.

Tentang sistem perwakilan, dikenal adanya sistem satu kamar dan sistem dua kamar, sedangkan dalam sistem pernerintahan terdapat sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Dalam pada itu tentang sistem peradilan dikenal adanya sistem peradilan tunggal dan sistem peradilan majemuk.

Sistem Perwakilan Yang berlaku di Indonesia

Setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, muncul lembaga-negara baru seperti antara lain Dewan Perwakilan Daerah. Apakah dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Indonesia menganut sistem dua kamar?

Sistem dua kamar terjadi, apabila pembentuk undang-undang ada pada dua kamar sepenuhnya. Ini terjadi apabila dianut sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal yang dianut sistem pemerintahan parlementer, pembentuk undang-undang ada pada pemerintah dan kedua lembaga perwakilan rakyat tersebut.

Setelah terjadi perubahan terhadap UUD 1945, dalam pembentukan undang-undang dimunculkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD tersebut terdiri atas wakil masing-masing propinsi dengan jumlah yang sama, yaitu empat orang. Keempat orang wakil propinsi tersebut dipilih 1angsung oleh rakyat di masing-masing propinsi.

Dengan demikian, para anggota DPD dipilih secara demokratis. Akan tetapi ternyata, dalam pembentukan undang-undang, DPD tidak dilibatkan. Hal ini dapat kita baca dari ketentuan UUD 1945, yang tercantum dalam Pasal 22 D.

Ayat (1) pasal tersebut menentukan bahwa DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;

b. hubungan pusat dan daerah;

c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta

e. yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Ayat (1) tersebut hanya mengatakan “DPD dapat mengajukan”. Setelah diajukan kepada DPR, selesailah tugas DPD. Dengan demikian, DPD sebenarnya tidak termasuk pembentuk undang-undang, karena tidak ikut membahas bersama DPR. Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan bahwa Indonesia tidak menganut sistem dua kamar. Munculah kemudian wacana, bahwa Indonesia menganut soft bicameralism.

Ayat (2) pasal tersebut ( Pasal 22D ) menentukan bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;

b. hubungan pusat dan daerah;

c. pembentukan, pernekaran, dan penggabungan daerah:

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;

e. perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta

f. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Dari bunyi ayat (2) juga membuktikan lagi bahwa DPD tidak termasuk pembentuk undang-undang.

Oleh karena itu muncul lagi pertanyaan, apakah Indonesia menganut sistem dua kamar ? Paling-paling kita dapat mengatakan bahwa Indonesia menganut “sistem satu setengah kamar”.

Sistem Pemerintahan Yang Berlaku di Indonesia

Seperti kita ketahui, dalam kepustakaan ilmu hukum tata negara dikenal adanya dua sistem pemerintahan, yaitu sistern pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.

Dalam kepustakaan Inggeris, seperti antara lain dikemukakan oleh S.L. Writman dan J.J. Wuest dalam bukunya Visual Outline of Comparative Government (1963), sistem pemerintahan parlementer, yang disebut dengan the Parliamentary Cabinet Government. mempunyai ciri-ciri berikut:

1. sistem tersebut didasarkan atas asas difusi (penyebaran) kekuasaan.

2. tidak adanya pertanggungjawaban bersama antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif dapat membubarkan legislatif atau eksekutif harus mengundurkan diri bersama para menteri, apabila kebijakannya tidak lagi diterima oleh mayoritas anggota badan legislatif.

3. juga terdapat pertanggungjawaban bersama antara eksekutif (Perdana Menteri) dan anggota kabinetnya;

4. eksekutif (PM, Premier, atau Chancellor) ditetapkan oleh kepala Negara (Raja atau Presiden), sesuai dengan dukungan mayoritas anggota badan legislatif.

Dalam pada itu, sistern pemerintahan presidensial yang dalam bahasa lnggeris disebut Presidential Government (S.L.Witman dan J.J. Wuest) dan fixed executive system mempunyai ciri-ciri berikut:

1. sistem tersebut didasarkan pada asas pemisahan kekuasaan;

2. eksekutif (kepala pemerintahan) tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan badan legislatif atau dia tidak harus berhenti apabila kehilangan dukungan mayoritas anggota legis1atif;

3. tidak adanya pcrtanggungjawaban bersama antara Presiden dengan anggota-anggota kabinetnya; bahkan para anggota kabinet bertanggungjawab sepenuhnya kepada Kepala Eksekutif;

4. kepala eksekutif dipilih oleh para pemilih.

Setelah kita ketahui ciri-ciri kedua sistem pemerintahan tersebut, timbul pertanyaan, sistem pemerintahan apa yang dianut oleh UUD 1945.

Seperti telah dikemukakan, pada waktu akan dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, MPR telah menetapkan lima macam rambu-rambu, salah satunya ialah bahwa sistem pemerintahan presidensial tetap dipertahankan, dan bahkan perlu disempurnakan. Dari bunyi rambu-rambu tersebut jelas bahwa di Indonesia berlaku sistem pemerintahan presidensial. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hal itu sesuai dengan ciri-ciri yang terdapat dalam sistem pemerintahan presidensial?

Dalam sistem pemerintahan presidensial. undang-undang ditetapkan hanya oleh badan legislatif saja. Dengan perkataan lain, pihak eksekutif, dalam hal ini Presiden, tidak ikut terlibat dalam pembentukan undang-undang.

Tetapi, bagaimana hal itu diatur dalam UUD 1945, setelah dilakukan perubahan?

Walaupun dalam Pasal 20 ayat (1) dikatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, akan tetapi apabila kita baca ayat-ayat berikutnya, ketentuan yang tercantum dalam ayat (1) tersebut tidak adanya artinya. Dalam ayat (2) dikatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Bahkan dalam ayat (3) dikatakan:

“Jika rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Ini berarti, bahwa sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia mengandung unsur-unsur yang terdapat dalam sistem pemerintahan parlementer.

Tentang Komisi Yudisial

Salah satu perubahan penting yang dilakukan MPR ialah dibentuknya lembaga-negara baru yang bernama Komisi Yudisial. Walaupun tempatnya yang berada dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman perlu dipersoalkan, akan tetapi keberadaan Komisi Yudisial sangat strategis. Hal mi dapat kita baca dalam Pasal 24B ayat (1). Dikatakan dalam ayat tersebut bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Anak kalimat terakhir ini ternyata menimbulkan berbagai tafsir.

Yang menjadi pertanyaan ialah, apa yang dimaksud anak kalimat yang berbunyi “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim?”.

Dengan cara bagaimana hal itu dilakukan oleh Komisi Yudisial ?Artinya, dengan cara bagaimana “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim” dilakukan?

Ada pendapat yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan melalui pengawasan. Timbul kemudian persoalan, dengan cara bagaimana pengawasan tersebut dilakukan ? Bagaimana cara melakukan pengawasan terhadap kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim ? Kemudian perlu juga diawab, siapa saja yang dimaksud dengan “hakim”?

Undang-undang dasar sebagai peraturan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak boleh berisi norma yang multi tafsir. Dengan perkataan lain, isi undang-undang dasar harus jelas dan mempunyai satu pengertian.

Daftar Bacaan

1. Bryce, James SCL, Studies in History and Jurisprudence, Oxford At Clarendoon Press, 1901.

2. Hoeven, Johanes van der, De plaats van de Grondwet in het Constitutionele Recht, Academisch Profschrifs NV, Nitgevers My-WEJ. Tjeenk Willink, 1958.

3. Steenbeek, J.G, De beprofde grondwet, Inaugurele rede, Vuga Boekery Uitgevery Vuga NV, 1967.

4. Struycken, A.A.H, Dc Grondwet, Haar Karekter en Waarde, Eene Studie, S.Gouda Quint, 1914.

5. Wheare, K.C, Modem Constitutions, London Oxford University Press, 1975.

6. Witman, S.L. et al, Visual Outline of Comparative Governments, Adams & Co, 1963.



Kamis, 05 November 2009

INI KAH YANG NAMANYA MEMAJUKAN SDM PAPUA

Saya sangat merasa marah di pagi ini, marah-marah dan marah, atas saya punya diri sendiri, saya bertanya, mengapa??????mengapa????? saya tidak memberikan yang terbaik, kepada Saudara-saudaraku di Papua. Mengapa...??? mengapa????? aku kuliah dengan penuh perjuangan, untuk Papua (Manokwari), tetapi sayangnya, tidak ada dukungan dari PEMERINTAH DAERAH........Apa gunanya menyusun : Tesis kalau tidak ada biaya,,,,untuk maju Unjian Proposal DAN TESIS,,,,,,saya,,marah,,,,,,,,,,,,marah......marah......atas sa punya diri sendiri dan saya bertanya mengapa,,,,,,,????? untuk apa....????? saya menangis buat saya punya diri sendiri........sebenarnya hal ini, saya sudah pendam, selama tiga Tahun, dengan harapan ada jawaban dari ratusan proposal pendidikan yang saya buat....saya menangis dan bertanya kepada Tuhan…!!!! apakah ini, suatu perjuangan atau ka….!!!!! ini cobaah buat aku, dalam menantikan sebuah jawaban yang tidak pasti?..............sedih,,,,,menangis,,,,,air mataku mengalir dan terus mengalir, sambil aku merenungkan semuanya dan bertanya dalam diriku.

Semua ini adalah goresan kisah hidup ku. Semoga goresan ini, memberikan motivasi bagi rekan-rekan seperjuangan, secara khusus rekan-rekan Papua yang mendapat sport dan dukungan dana, dari Pemerintah daerah masing- masing.

Kisah ini memberikan, suatu pelajaran, yang harus kita mengambil hikmanya. GBU……….By Engel.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com