A.
PEMBANGUNAN HUKUM
1.
Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum berarti membangun suatu tata hukum,
beserta perangkat yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan tata hukum tersebut.
Suatu tata hukum berarti seperangkat hukum tertulis (pada umumnya) yang
dilengkapi dengan hukum tidak tertulis sehingga membentuk suatu sistem hukum
yang bulat dan berlaku pada suatu tempat tertentu.
Sedangkan berlaku pada suatu saat dan tempat tertentu
berarti bergantung pada suatu kelompok orang dan pandangan hidup yang
mengikatnya didalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu membangun hukum di
Indonesia pada sekarang maupun dimasa yang akan datang, bukanlah sekedar
berdasarkan teori hukum yang universal dan canggih, melaikan sangat dipengaruhi
oleh pandangam hidup kelompok (yang nyata), sehingga diperoleh suatu hukum yang
hidup dalam arti sesuai dengan aspirasi masyarakat sehingga tidak membutuhkan
“yuristen recht”.
|
Rambu-rambu filsafati ini antara lain dapat mengenai,
makna hukum itu sendiri sebagai alat, apa yang seyogyanya menjadi isi daripada
hukum, bagaimana prinsip operasional dalam membangun hukum, dan bagaimana
masalah teknis hukum yang sedikit banyak di pengaruhi pula oleh pandangan hidup
bangsa[1].
2.
Hukum Sebagai Alat
Hukum
bukanlah tujuan, melainkan suatu alat yang terkait pada pencapaian suatu
tujuan. Pengkaitan pada suatu tujuan dapat berlangsung secara pasif dalam arti ia mengukuhkan suatu hal atau
perilaku yang baik di masyarakat sehingga ada jaminan kepastian berlakunya hal
tersebut atau dapat secara aktif dikaitkan hukum dengan tujuan dalam arti
dengan hukum direkayasa suatu kehidupan di masyarakat yang lebih baik.
Juga disini
penuangan kedalam hukum suatu ide atau inspirasi adalah jelas agar di peroleh
suatu keterlibatan dan kepastian hukum, dalam arti ada sanksinya karena pada
hukum lasimnya demikian adanya.
Dengan
demikian pertama-tama perlu kita fahami apakah yang diartikan dengan hukum oleh
suatu kelompok manusia, apakah ia merupakan suatu perintah, suatu himbauan atau
suatu hipotesa atau bentuk-bentuk penjelmahan lainnya. Secara teoritis yang
sering kali kita dengar di bangku kuliah ialah bahwa, “sampai sekarang pun para
sarjana hukum masih mencari apa yang merupakan defenisi dari hukum tersebut”.
Bahkan
berdasarkan (ilmu) filsafat hukum dan sosiologi hukum dan teori hukum ada
beragam definisi hukum yang di permasalahkan sebagai pangkal tolak pembahasan.
Namun untuk pembangunan hukum di Indonesia, kita harus tegas berpangkal bahwa
apa yang dianggap hukum oleh bangsa Indonesia.
Apabila hal
ini kita telusuri dalam hukum dasar kita
yaitu UUD 1945, maka kita memperoleh suatu petunjuk bahwa: “Undang-Undang Dasar
1945, sebagai hukum dasar berisi instruksi untuk menyelenggarakan kehidupan
negara dan kesejahteraan sosial”[2]
Ini berarti
bahwa hukum adalah alat untuk ketertiban kehidupan negara dan sekaligus alat untuk
mendapat kesejahteraan sosial. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa hukum
adalah alat untuk mendapat ketertiban dan alat untuk mencapai kesejahteraan sosial,
menurut anggapan bangsa Indonesia.
Jadi bukan
semata-mata untuk keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) melainkan juga
untuk mengukuhkan dan merekayasa kesejahteraan sosial. Hukum adalah alat untuk
tertib dan adil sejaterah dengan ungkapan lama “aman tentram kartaraharja”.
Selanjutnya
kita ketahui apakah yang merupakan sumber hukum menurut bangsa Indonesia. Di
dalam Penjelasan UUD 1945 pun dijelaskan bahwa: “pokok-pokok pikiran yang
terkandung di dalam Pembukaan, membentuk cita-cita hukum (Rechtsidee) yang mengusai hukum dasar tertulis dan tidak tertulis”.
Sedangka pokok pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang
terutama, ialah Pancasila.
Dengan
demikian jelas bahwa Pancasila adalah sumber daripada segala sumber hukum
apabilah hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis kita anggap
sebagai sumber hukum (ursprungnorm).
Hal yang
lain yang perlu kita fahami dengan erat hubungannya dengan masalah hukum
sebagai alat, ialah apakah fungsi hukum menurut bangsa Indonesia.
Di dalam
pejelasan pasal 28 dan seterusnya dari pada UUD 1945, di rumuskan bahwa:
“pasal-pasal, baik yang hanya mengenai warga negara maupun mengenai seluruh
penduduk, memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat
demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan”.
Apakah
kata-kata pasal-pasal pada permulaan kalimat kita ganti dengan kata “hukum”,
maka jelaslah bahwa fungsi hukum yang di dambahkan oleh bangsa Indonesia ialah:
besifat demokratis dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan. Dengan satu kata di rangkum oleh Dr. Sahardjo, fungsi hukum
ilah pengayom.
Secara
visual hal ini di gambarkan atau di lambangkan dengan pohon beringin pengayom,
sebagai penggati dari lambang dewi justitia yang memegang timbangan dan pedang
yang merupakan lambang fungsi hukum dalam cara pandang perseorangan atau
individualistik/liberal.
Di dalam
uraian mengenai sumber hukum jelas pula bahwa bentuk hukum di Indonesia dapat
tertilis dan tidak tertulis. Bentuk tertulis jelas pula siapa pembentuknya yang
sesuai dengan jenisnya atau macamnya, dapat berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, ketetapan MPR dan sebagainya sedangkan hukum tidak tertulis dapat
berupa Hukum Adat dan hukum kebiasaan lainnya.
Karena
cita-cita hukum (Rechtsidee) mengenai hukum dasar tertulis dan hukum dasar
tidak tertulis (sumber hukum) maka cita-cita hukum inilah yang harus kita pakai
untuk menyaring hukum tidak tertulis maupun hukum yang tertulis yang telah ada
selama ini.
Hal selanjutnya
yang harus kita fahami ialah kaitan hukum suatu negara dengan warga negaranya.
Di dalam
hal ini UUD 1945, menggariskan dalam pasal 27 banhwa: “segala warga negara
bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak terkecualinya”.
Di dalam
hal ini maka pelaksanaan hukum ekonomi oleh lembaga-lembaga yang
melaksanakannya (eksekutif) harus berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)
dan tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tak terbatas), sedangkan penegakan
hukum di laksanakan oleh kekuasaan kehakiman lainnya berdasarkan undang-undang.
Kekuasaan kehakiman ini ialah suatu kekuasaan yang merdeka dalam arti bebas
dari pengaruh kekuasaanpemerintah.
Secara
ringkas dengan demikian rambu-rambu dari pada hukum sebagai alat bersifat
universal yang dapat kami sajikan ilah mengenai: arti hukum (sumber hukum),
fungsi hukum (bentuk hukum), kedudukan manusia berdasarkan hukum; pelaksanaan/
penerapan/pelayanan hukum; penegakan hukum di pengadilan.
Kita harus
memahami pilihan bangsa Indonesia mengenai hal ini, yang semuanya itu terus di
dalam psal-pasal UUD 1945.
Dengan
demikina pembentukan ataupun pembangunan hukum di Indonesia akan benar-benar
sesuai dengan pandangan hidup bangsa, maupun falsafah bernegara yang mendasari
dasar negara. Secara teoretis- konstitusional maka kesemuanya pokok-pokok
pilihan bangsa Indonesia yang telah diuraikan, membentuk unsur-unsur Negara
Hukum Indonesia.
3.
Isi dari pada Hukum
yang akan di Bentuk dalam Pembangunan Hukum
Sebagaimana
telah di uraikan dalam pendahuluan, maka seyogianya kita tidak membentuk
“Yuristen-Recht” dalam arti hukum yang canggi sesuai perkembangan ilmu hukum
yang universal sifatnya, melainkan harus membentuk hukum yang sesuai dengan
pandangan hidup bangsa dan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa.
Untuk
memungkinkan hal ini perlu kita fahami pula bahwa suatu hukum pada hakekatnya
berisikan pilihan mengenai hal-hal yang di anggap baik bagi kemanusiaan atau
nilai (termasuk yang tidak dianggap baik atau bernilai). Dengan demikian perlu
kita ketahui nilai-nilai apakah yang harus menjadi isi daripada hukum yang
sesuai dengan pandangan hidup bangsa.
Dengan
perkataan lain ialah nilai-nilai apakah yang harus di tegakan dengan hukum yang
bersumber pada Pancasila. Nilai-nilai tersebut jelas mengenai pelbagai aspek
kehidupan yang universal macam-macamnya seperti misalnya: ideologi, demokrasi,
ekonomi, kebudayaan, atau hukum itu sendiri dan sebagainya.
Kita harus
dapat menelusiri di dalam UUD 1945, bagaimana pilihan bangsa Indonesia mengenai
hal ini dan biasanya untuk menunjukkan bahwa itu adalah pilihan bangsa
Indonesia, maka di tambahkkan kata Pancasila atau Nasional. Misalnya Ideologi
Pancasila, Demokrasi Pancasila, Ekonomi Pancasila, Kebudayaan Nasional,
Pendidikan Nasional, Kesatuan Nasional, Hukum Nasional dan sebagainya.
Nilai-nilai
mengenai hal tersebut, secara kongrit tertulis dengan tegas di dalam UUD 1945.
Sebagai contoh misalnya Ideologi Pancasila, yang dapat kita katakan sebagai
ide-ide dasar “yang di inginkan” oleh Pancasila, atau oleh bangsa indonesia.
Ide-ide
dasar ini berupa rumusan seperangkat tata nilai yang di padukan oleh pandangan
hidup bangsa. Untuk ringkasnya nilai-nilai yang ada di dalam Pembukaan UUD
1945, kita sebut “batasan dasar” seperti misalnya bermasyarakat, bernegara,
tujuan negara, sifat hakekat negara (terjadinya), jadi sikap perilaku
demokratis atau kerakyatan dan sebagainya.
Sedangkan
nilai yang terumus dalam pasal-pasal atau batang tubuh UUD 1945, pada
hakekatnya akan membentuk tatanan- tatanan tertentu seperti tatanan ekonomi,
tatanan hukum, tatanan budaya dan sebagainya.
Setiap
tatanan pada hakekatnya juga mengikuti hal-hal yang bersifat universal, namun
nilai yang di rumuskan menunjukan pilihan bangsa Indonesia mengenai hal itu.
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan misalnya:
a) Mengeni kehidupan yang
demokratis maka mengenai hal-hal yang bersifat univesal misalnya:
-
Kekuasaan tertinggi dalam negara; bentuk organisasi
negara
-
Sistem perwakilan, pola hak kemanusiaan, sistem Kepala
Negara
-
Sifat atau tipe negara; sifat atau tipe pemerintahan
-
Pola kelembagaan negara, cara pelestarian pandangan
hidup bangsa dan unsur-unsur atau yang ingin di capai dengan kehidupan yang
demokratis, kesemuanya jelas apa yang terjadi, pilihan bangsa Indonesia,
terumus dalam UUD 1945 dalam ari luas, mulai pembukaan, pasal-pasal dan
penjelasannya.
b) Mengenai keuangan
negara, juga seperti hal-hal yang universal misalnya seperti: Anggaran
Pendapatan Belanja Negara; pajak, hal mata uang, masalah keuangan negara
lainnya dan pemeriksaan keuangan negara; jelas pula pilihan bangsa Indonesia
mengenai hal ini di dalam pasal-pasal UUD 1945.
c) Juga mengenai
perekonomian, hal-hal yang universal seperti sistem perekonomian (pekerjaan),
produksi (demokrasi ekonomi), bangun perusahan dan sebagainya, jelas pula
pilihan nilai-nilai bangsa Indonesia mengenai hal ini, yang perlu di kembangkan
lebih lanjut oleh para pakar atau nara sumber agar dapat menjadi isi dari pada
hukum yang di bentuk.
Hal-hal yang sama dapat kita
telusuri, dalam hal tatanan lainnya. Sistem Undang-Undang Dasar kita ialah
apabila “belum” dapat di rumuskan nilai-nilai dasarnya maka di beri petunjuk
bahwa hal tersebut harus di tentukan dengan undang-undang.
Hal ini berarti bahwa harus di
tetapkan oleh wakil rakyat dan penyelenggara di bidang pemerintahan, sesuai
dengan perkembangan kecerdasan kehidupan bangsa Indonesia, seperti misalnya
tatanan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
4.
Beberapa Prinsip
Operasional Pembangunan Hukum
Apabila
untuk memahami hukum sebagai alat dan apa yang akan menjadi isi dari pada hukum,
kita harus menelusuri UUD 1945, maka pedoman operasiona pembangunan hukum
adalah GBHN.
Kedua-duanya
baik UUD maupun GBHN di tetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyata
atas nama Rakyat.
Pembangunan
yang kita lakukan ialah sebagai pengalaman pancasila, hal ini berarti bahwa
tujuan yang akan kita capai ialah masyarakat (modern ) yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila, yang dengan perkataan lain ialah tujuan kita
dalam bernegara.
Oleh karena
iturumusan secara konstitusional daripada adil dan makmur berdasarkan Pancasila
ialah apabila:
a)
Seluruh bangsa dan tumpah darah adalah terlindungi;
b)
Ada kemajuan dalam kesejahteraan umum;
c)
Ada (peningkatan) kecerdasan kehidupan bangsa; dan
d)
Ada tertib dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan,
perdamaian abadi dan kesejahteraan sosial di mana Indonesia termasuk di
dalamnya.
Kongkretisasi
daripada tujuan bernegara secara bertahap dan berkesenambungan dari pada tujuan negara secara bertahap dan
berkesinambungan di dalam kegiatan bernegara, kita sebut haluan negara. Secara
garis besar haluan negara ini di tetapka lima lima tahun sekali dan di sebut
garis besar haluan negara yang pada pokoknya ialah pola Umum Pembangunan Nasional.
Dengan
demikianpetunjuk operasional dari pembangunan hukum ialah dalam GBHN. Di dalam
GBHN, maka masalah hukum di rumuskan dalam bab-bab sesuai sistematika GBHN, hal
mana menunjukan fungsi pedoman operasional dari pada rumusan tersebut.
Rumusan pertama ialah dalam Pola
Dasar Pembangunan Nasional, dimana mengenai hukum di rumuskan pengarahannya
dalam dua hal yaitu:
a.
Sebagai asas pembangunan dengan rumusan:
“asas
kesadaran hukum ialah bahwa setiap warga negara Indonesia, harus selalu sadar
dan taat kepada hukum dan mewajibkan warga negara untuk menegakan dan menjamin
kepastian hukum”. Konsisten dengan uraian mengenai hukum sebagai alat maka
seyogianya ditambahkan kata “adil dan sejahtera”. Sehingga tidak hanya mengenai
kepastian hukum tetapi juga mengenai keadilan dan kesejahteraan sosial.
b.
Arahan yang kedua di dalam Pola Dasar Pembangunan
Nasional ialah :
Dirumuskan
sebagai bagian dari Wawasan Nusantara sebagai cara pandang dalam pembangunan
nasional.
“Bahwa
seluruh kepulauan Nusantara merupakan kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada
satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional”.
Dengan adanya keragaman tata hukum yang
berlaku sekarang di Indonesia, sesuai Aturan Peralihan pasal II UUD 1945,
seperti antara lain hukum barat (Kontinental
dan Anglo Saxon); hukum adat, hukum feodal dan mungkin dalam batas-batas
tertentu hukum revolusi, maka jelas bobot dan makna dari arahan ini.
Rumusan
kedua ialah di dalam Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang, khususnya di
dalam Arahan Pembanguna Hukum Jangka Panjang pada butir ke- 15 pada sub bab
tersebut di rumuskan adanya empat sasaran yang handak di capai:
a)
Bidang ekonomi
b)
Bidang agama, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, Sosial Budaya;
c)
Bidang Politik dan
d)
Bidang Hankam
Masalah hukum di rumuskan di dalam bidang
politik dalam negeri dimantapkan kesadaran kehidupan politik dan kenegeraan
berdasarkan Pncasila dan UUD 1945, bagi setiap warga negara, sehingga dapat
terjamin kelancaran usaha mencapai tujuan nasional.
Dalam rangka mencapai sasaran itu termasuk
di dalamnya usaha untuk menciptakan kondisi serta situasi untuk memungkinkan
terlaksananya proses pembaharuan kehidupan politik, sehingga dapat di capai
keadaan dengan sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, dinamis
efektif dan efisien yang dapat memperkuat kehidupan konstitusional, mewujudkan
Pemerintahan yang bersih, bekemampuan berwibawa, pengawasan oleh Perwakilan
Rakyat, yang semakin efisien serta terwujudnya kesadaran dan kepentingan hukum
dalam masyarakat yang semakin mantap.
Konsisten dengan uraian terdahulu maka
seyogianya masalah hukum juga di rumuskan di bidang-bidang lain dan tidak
sekedar terkait dengan kepentingan hukum dalam masyarakat yang semakin mantap
(kehidupan politiknya).
Rumusan ketiga ialah tetang masalah
hukum di dalam GBHN ialah di dalam Pola Umum Pelita IV, dimana hukum di arahkan
dalam dua hal yaitu:
a)
Arah dan kebijaksanaan pembanunan UMUM;
Rumuskan
dalam arah dan kebijaksanaan di maksudkan untuk memberikan ciri pada
pembangunan pelita IV, artinya berlaku bagi setiap bidang dan sektor,
pembangunan nasonal.
Sehingga
apabila pembangnan nasional tahap yang akan datang adalah mengenai Kerangka
Landasan Pembangunan, maka seyogianya masalah tersebut di rumuskan pula untuk
GBHN yang akan datang.
Mengenai
Kerangka Landasan di bidang hukum dapat di uraikan secara ringkas sebagai
berikut:
Apabila
Kerangka Landasan Pembangunan Nasional kita artikan sebagai suatu mekanisme
yang memungkinkan kita membangun di atas kekuatan dan kemampuan sendiri
(tinggal landas pembangunan), maka kerangka landasan pembangunan hukum dapat di
artikan sebagai:
“langkah-langkah
strategis yang harus kita ambil agar untuk melanjutkan pembangunan hukum
benar-benar membentuk suatu sistem hukum nasional dan tidak merupakan gabungan
dari pelbagai sistem hukum yang tidak bersumber pada Pancasila”
Mengingat
kita membangun hukum tidak di mulai pada titik nol atau dalam suatu keadaan “rechtg-vacuum” maka suda barang tentu
sudah ada beberapa langkah strategis yang di kembangkan sekalipun belum tuntas/bulat,
melainkan “mengambil” dari sistem hukum yang lain.
Untuk dapat menelaah secara lebih tajam
pembangunan bidang hukum maka peru diperjelas apakah sebenarnya yang merupakan bidang-bidang
utama pembangunan hukum.
Yang
dimaksud bidang disini bukalah isi dari pada pengatuan melaikan aspek-aspek
yang menunjukan kehidupan hukum yaitu:
a. Pembentukan dan
pencerahan hukum;
b. Penegakan hukum di
pengadilan;
c. pelaksanaan/penerapan/ pelayanan hukum diluar
pengadilan;
d. Perkembangan hukum
secara akademik (pendidikan hukum);
e. Kegiatan hukum yang
bersifat antar tata hukum (regional maupun internasional).
Dengan
demikan langkah-langkah strategis di kelima bidang ini akan membentuk kerangka
pembangunan hukum.
Perkembangan
yang sudah ada di kelima bidang tersebut pada saat sekarang akan menyebabkan
bahwa kumpulan langkah starategis yang akan membentuk suatu kerangka landasan
tidak akan merupakan suatu kesatuan akademis yang bulat, namun pencarian
langkah-langkah strategis akan bersifat akademik.
b)
Dalam salah satu sektor dari pada bidang politik,
yaitu sektor 3.
Rumusan
tentang hukum di sektor Hukum dalam Bidang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum,
Penerangan dan Media Massa, Hubungan Luar Negeri inilah yang biasa dianggap
sebagai rumusan hukum di dalam GBHN, yang di kembangkan lebih lanjut di dalam
PELITA Bab 27, yang kemudian menjadi
pedoman pembangunan Departemen Kehakiman, sehingga pengertian pembangunan hukum
menjadi sempit.
5.
Beberapa Masalah
Teknis Pembangunan Hukum
Berbica
tentang pembangunan hukum tidak dapat terlepas dari masalah teknis yang harus
kita kembangkan.
Beberapa
malah teknis antara lain:
a.
Di bidang pembentukan hukum misalnya:
1.
Pembangunan Hukum yang baik ialah yang berencana dan
tidak tergantung semata-mata pada selera sesaat. Dalam hal ini kita berhadapan
dengan masalah program legislatif nasional yang seyogianya jelas setiap lima
tahunnya;
2.
Pembentukan hukum harus baku dan jelas proses atau
prosedur yang harus di tempuh, dan dalam hal ini kita berhadapan dengan masalah
proses legislatif nasional;
3.
Rumusan hukum merupakan satu naskah tentu yang baku
pula bentuk dan susunannya dan dalam hal ini kita berhadapan dengan masalah
teknis perundang-undangan dan bahsa hukum.
4.
Jumlah produk hukum yang dapat di hasilkan oleh
lembaga pembentuk hukum menetukan pula laju pembangunan hukum dan dalam hal ini
kita berhadapan dengan masalah beban legislatif nasional.
5.
Merumuskan dalam hukum satu masalah memerlukan
“pengorganisasian” atau “pengadministrasian” yang baik. Biasanya tergantung
pada macam atau jenis hukum, apakah mengatur pokok-pokok sehingga harus luwes atau
mengatur pelaksanaan yang terperinci. Menggabungkan kedua hal dalam satu
pengaturan mengakibatkan hukum cepat usang atau menghambat perkembangan
sehingga perlu deregulasi, atau menumbuhkan satu birokrasi yang negatif.
6.
Sesuai dengan yang talah di uraikan bahwa hukum harus
sesuai dengan pandangan hidup bangsa dan aspirasi masyarakat, maka perlu
pembakuan tentang lembaga penampung aspirasi rakyat seperti misalnya lembaga
dengan pendapat umum.
b.
Di bidang penegakan hukum masalah teknis yang terutama
harus dikembangkan ialah antara lain, misalnya yurisprudensi, kebijaknaan
pelaksanaan hukum, pembinaan lembaga-lembaga penegakan hukum dan pejabatnya,
pendapat sarjana sebagai hukum tidak tertulis dan sebagainya.
c.
Di bidang pelayanan hukum yang terutama ialah
penanaman jiwa pengabdian sehingga tidak menumbuhkan ketertiban hukum biaya
tinggi. Ringkasnya suatu perinsip pelayanan masyarakat yang baik yang harus
kita kembangkan
d.
Di bidang pengembangan hukum menyangkut masalah tujuan
hasil dan struktur pendidikan hukum mulai yang formal dilingkungan pendidikan
jabatan
e.
Dalam bidang antar tata hukum, yang terutama masalah
persetujuan rakyat atau ratifikasi[3].
0 komentar:
Posting Komentar