PENDISTRIBUSIAN
KEWENANGAN
Pada
dasarnya kewenangan pemerintahan dalam negara kesatuan adalah milik pemerintah
pusat. Dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan
pemerintahan tersebut kepada daerah. Penyerahan wewenang terdiri dari :
l Materi
wewenang (semua
urusan pemerintahan yang terdiri atas urusan pemerintahan umum dan urusan
pemerintahan lainnya)
l Manusia
yang diserahi wewenang (masyarakat
yang tinggal di daerah yang bersangkutan sebagai kesatuan masyarakat hukum)
l Wilayah
yang diserahi wewenang (daerah otonom, bukan wilayah
administrasi)
Cara Penyerahan Wewenang
1.
Ultra vires doctrine yaitu
pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dengan
cara merinci satu per satu. Daerah otonom hanya boleh menyelenggarakan wewenang
yang diserahkan tersebut. Sisa wewenang tetap menjadi wewenang pusat. Dianut UU
Nomor 5 Tahun 1974.
2.
Open end arrangement atau general competence yaitu daerah otonom boleh menyelenggarakan semua
urusan di luar yang dimiliki oleh pusat. Penyelenggaraan kewenangan oleh daerah
berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki
pusat. Dianut UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004.
UU Nomor 32
Tahun 2004 dalam melakukan pendistribusian kewenangan antara pemerintah pusat
dengan daerah, membedakan urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam
bagian atau bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
Dalam urusan
yang bersifat concurrent senantiasa
ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan ada bagian
urusan yang diserahkan kepada propinsi dan ada bagian urusan yang diserahkan
kepada kabupaten/kota.
Untuk
menciptakan distribusi kewenangan yang concurrent
secara proporsional antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Propinsi,
Kota/ Kabupaten) digunakan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efesiensi dengan mempertimbangkan
keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
Dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang kriteria tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1.
Kriteria Eksternalitas adalah
pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan
dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional
menjadi kewenangan propinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan
pemerintah.
2.
Kriteria Akuntabilitas adalah
pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa
tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang
ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
3.
Kriteria Efesiensi adalah pendekatan dalam
pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan
kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan urusan. Apabila suatu
bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan
berhasilguna dilaksanakan oleh daerah (propinsi, kota/kabupaten) dibandingkan
apabila ditangani oleh pemerintah, maka bagian urusan tersebut diserahkan
kepada daerah. Begitu juga sebaliknya. Ukuran berdayaguna dan berhasilguna
dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya
resiko yang harus dihadapi.
Referensi :
Hanif Nurcholis.
2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan
Otonomi Daerah. Jakarta : PT. Grasindo.
Muhammad Fauzan.
2006. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian
tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Yogyakarta : UII Press.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
0 komentar:
Posting Komentar